Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DAHURU SEDO BAB 3

 BAB 3

“Pak Ustaz, bagaimana ini?”

“Opo ne neh, he?” (Apalagi, he,) sambar Kuswanoto.

“Kira-kira kapan jenazah Pak RT datangnya?”

“Yo dienteni to! Paling jek di vakum!” (Ya ditunggu dulu! Paling juga masih di visum!) ucap Kuswanoto asal.

“Visum, Kang? Visum.” Samamudin membenarkan.

“Yo iku lah.” (Ya itulah.)       

“Tunggulah sebentar Jo, kita percaya apa yang dikatakan Kang Noto,” ujar Ustaz Sopyan, akhirnya angkat bicara setelah memilih diam oleh suara keras Kuswanoto.

“Saiki neng kubur kono, didelok, pokok siap-siap ae, nek wes teko ko diobo.” (Sekarang ke kuburan sana, dilihat, bersiap saja, kalau sudah datang nanti di kabari.)

“Din! Mudin!” teriak Kuswanoto.

“Birin! Gito! Tino!”

“Ada apa Kang?” jawab Gito, di belakang tampak Samamudin dan dua rekan lainnya mengikuti.

“Kae, morine dicepakno.” (Itu, kain kafan disiapkan.)

“Tapi Kang ….”

“Awakku seng ngatur, roh!” (Aku yang mengatur, tahu!)

“Samamudin kambek Tino, ewangi Gito, awakmu Rin, tolong cepakno banyu, drum-drum iko diisi, dingklik nggo ngedusi sisan dicepakno,” (Samamudin dan Tino, bantu Gito, kamu Rin, tolong disiapkan air, drum-drum itu diisi, bangku kayu untuk memandikan sekalian disiapkan,) perintahnya mengalahkan perintah Ketua RT.

“Tapi Kang ….”

“Halah! ngenelo!” (halah! benini!)

Kuswanoto lalu mengambil gulungan kain kafan, sejenak dia menatap Gito, dahinya berkerut seakan ada sesuatu yang mengganjal.

“Apa lagi Kang?”

“Pak Rete, duwure sepiro yo, la iki morine ko kurang utowo kedawan, lek biosone diukur dowone mayit,” (Pak Rete, tingginya berapa ya, ini kafan nanti kurang atau kepanjangan, kalau biasanya diukur panjangnya mayat,) ujarnya.

“Ya kurang lebih masih tinggi Panjenengan satu jengkal,” sambar Tino.

“Sudah begini saja Kang Noto, Njenengan itu berbaring biar kami bisa tahu sebatas mana kafan mau dipotong,” tambah Samamudin.

“Awakku? Gah! Mosok awakku!” (Saya? Tidak mau! Masak harus saya!)

“Ya mau bagaimana lagi, tinggal berbaring terus sedekap saja kok repot,” balas Samamudin.

“Iya Kang, dengan begitu kita jadi tahu berapa ukuran tubuh Pak RT.” Giliran Gito menegaskan, kalau Kuswanoto harus berbaring dan bersedekap untuk mengukur panjang kafan.

“Sudah ayo, berbaring, susah amat disuruh!” pinta Samamudin.

Tanpa bicara, Kuswanoto bersungut berbaring di lantai setelah melepas peci hitamnya.

“Wes ndang ojo kesuwen!” (Sudah cepat janagn lama-lama!) bentaknya.

Bagian ujung kafan dipegang oleh Gito, sementara Tino melangkah mundur seraya memegangi gulungan.

“Yang cocok dibungkus kafan itu sebenarnya Panjenegan,” kata Samamudin yang sudah jongkok di samping Kuswanoto dengan memegang gunting.

“Lambemu nek ngomong asal njeplak ae.” (Bibirmu kalau bicara asal ucap saja.)

“Lha ‘kan begitu modelnya Njenengan, kalau bicara asal nyeplos saja,” bantah samamudin.

“Sido opo enggak iki!” (Jadi apa tidak ini!) Kuswanoto bangkit duduk, tetapi Samamudin menahan dadanya, hingga akhirnya Kuswanoto kembali ke posisi semula.

“Yu! Yu! Dibacakan Yasin sekalian ini Kang Noto! Yu War!” teriak Samamudin.

Plak!

Sebuah  peci mendarat di kepala Samamudin.

Melihat itu Gito dan Tino, ikut tertawa.

“Kate ndungakno awakku ndang matek ta! Ha!” (Mau mendoakan saya cepat mati apa! Ha!)

“Tu’ kan, kalau diajak bercanda marahnya saja dibesarkan.”

“Ini jadi ukur kafan atau Tidak?” imbuh Samamudin.

“Mejam,” pintanya pula.

Kuswanoto sudah dibuat bak mayat dengan tangan bersedekap, mata terpejam, setelah mendapat gambaran tinggi jenazah Pak RT, Samamudin lalu memberi tanda pada kain.

Merasa sudah mendapat ukuran, Kuswanoto membuka mata.

“Belum! Jangan bangun dulu!” Gantian Samamudin membentak, lalu memegang burung Kuswanoto.

“O wedos!” (O kambing!) makinya.

“ha ha ha … sudah tua tidak mau sempak! Ha ha ha,” tawa Samumudin diikuti Kuswanoto yang beranjak bangkit, malu.

“Cuwangkemu nek ngomong ojo banter-banter, krungu wong okeh !” (Mulutmu kalau bicara jangan keras-keras, didengar orang banyak!)

“Kenapa? La memang Njenengan itu tidak pernah pakai dalaman kok, ha ha ha.” Samamudin berdiri, lalu meminta Tino dan Gito, yang juga tertawa untuk melipat kafan menjadi tiga lipatan panjang sesuai ukuran.

Kafan sepanjang dua depa lebih itu kemudian dipotong menjadi tiga bagian sama panjang, Samamudin tak lupa menggunting sisi samping kain untuk dijadikan tali pocong sebanyak lima buah.

“Yu! Ki tulung di dondomi, digandeng seng loro iki, nggeh.” (Yu, ini tolong dijahit, digandeng yang dua ini, ya.”

Dua perempuan yang sedari tadi ikut tersenyum, mengangguk lalu meraih kafan yang sudah dipotong oleh Samamudin.

“Tugel meneh setengah depo, nggo ketu.” (Potong lagi setengah depa buat penutup kepala mayat.)

“Setengah depo meneh nggo sempak ‘e.” (Setengah depa lagi buat sempak.)

“Lo! Ojo mbok jait dondomi ngono Yu? Di dondomi bioso ae,” (Lo! Jangan dijahit mati Yu? Di jahit biasa saja,) ujar Kuswanoto ketika dua perempuan salah dalam menjahit kafan.

****

Tak lama setelah itu kafan sudah siap, bahkan Kuswanoto juga menyuruh untuk membentang di lantai, lengkap dengan Lima helai tali dari sisi kain yang disobek.

Dia terlihat begitu sibuk mengatur beberapa ibu-ibu lainnya untuk meronce bunga yang disatukan pula dengan sehelai benang panjang.

“Rin! Wes kebak gurung!” (Rin! Sudah penuh belum!)

“Belum Kang!” teriak Birin yang memegang selang.

“Kelemak kelemek! Seng cepet nek temanang ki!” (Kelemak-kelemek! Yang cepat kalau kerja!)

“Lah? Kok saya yang disalahkan, pompa airnya sana yang Njenengan marahi, bagaimana mau cepat, kalau mau cepat yang tuang saja sumurnya,” balas Birin menggerutu.

“Kang, kang, rene!” teriak Kuswanoto memanggil sekumpulan orang yang duduk.

“Ada apa ya Kang Noto.”

“Timbangane kumpul-kumpul ngrasani koncone, iko, papan iko di gawe maesan, roh to nek lanang kudu piye modele?” (Daripada kumpul-kumpul membicarakan temannya, itu, papan itu dibuat nisa, tahu ‘kan kalau mayat laki-laki harus bagaimana modelnya?)

“Dibuat seperti burung Pak RT, begitu Kang?” tanya lelaki itu polos.

“Matamu suwek! Gaween ngisan koyok pelimu iku! Nek wong lanang yo enggak kudu njebebeh to nduwure, bunder yo kenek, setengah lancip yo kenek, ngono ae yo enggak roh, malah kate digawe koyok peline Rete!” (Matamu sobek! Kamu buat saja sekalian seperti burungmu itu! Kalau mayat laki-laki ya tidak harus datar atasnya, bunder ya boleh, setengah lancip juga boleh, begitu saja tidak tahu, malah mau dibuat seperti burungnya Pak RT!)

“Ya tanya Kang, tidak usah marah-marah, kena stroke tahu rasa Njenengan,” gerutu lelaki itu seraya meninggalkan Kuswanoto yang berdiri di ambang pintu.

“Kenapa Kamu, kok cemberut?” tanya salah temannya.

“Kang Noto, di tanya baik-baik … itu orang galak minta ampun,” balasnya.

“Tidak usah heran, kayak tidak tahu Kang Noto itu bagaimana orangnya, bicaranya ya kasar begitu, modelnya sudah begitu, sudah dimaklumi saja.”

“Lha awakmu!” (La kamu!)

Yang merasa dipanggil menoleh seraya memandang Kuswanoto.

“Iyo awakmu, rene!” (Iya kamu, sini!)

“Ada apa Pakde?”

“Tukokno udud, neng warunge Pondi, Pakde seng ngongkon ngono yo, gudang garem abang.” (Belikan rokok, di warungnya Pondi, Pakde yang menyuruh begitu ya, gudang garam merah.)

“Ya Pakde,” jawab remaja lelaki mengenakan baju putih.

“Kwecut cangkem enggak jejeli udud,” (Kecut mulut tidak disumpal rokok,) batinnya.

Suasana yang ramai semakin ramai oleh para pelayat yang datang, ibu-ibu dibelakang tampak sibuk mempersiapkan segala keperluan makam, juga malam pertama yang rencananya akan digelar pembacaan Yasin dan tahil selama tujuh malam berturut-turut.

Kuswanoto masih terlihat sibuk mengatur dan menyurh-suruh beberapa lelaki untuk mempersiapkan semuanya hingga jenazah Ketua RT tiba di rumah duka.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search