CERKAK DAHURU SEDO BAB 3
BAB 3
“Pak Ustaz, bagaimana
ini?”
“Opo ne neh, he?”
(Apalagi, he,) sambar Kuswanoto.
“Kira-kira kapan jenazah
Pak RT datangnya?”
“Yo dienteni to! Paling
jek di vakum!” (Ya ditunggu dulu! Paling juga masih di visum!) ucap Kuswanoto
asal.
“Visum, Kang? Visum.”
Samamudin membenarkan.
“Yo iku lah.” (Ya itulah.)
“Tunggulah sebentar Jo,
kita percaya apa yang dikatakan Kang Noto,” ujar Ustaz Sopyan, akhirnya angkat
bicara setelah memilih diam oleh suara keras Kuswanoto.
“Saiki neng kubur kono,
didelok, pokok siap-siap ae, nek wes teko ko diobo.” (Sekarang ke kuburan sana,
dilihat, bersiap saja, kalau sudah datang nanti di kabari.)
“Din! Mudin!” teriak
Kuswanoto.
“Birin! Gito! Tino!”
“Ada apa Kang?” jawab
Gito, di belakang tampak Samamudin dan dua rekan lainnya mengikuti.
“Kae, morine dicepakno.”
(Itu, kain kafan disiapkan.)
“Tapi Kang ….”
“Awakku seng ngatur, roh!”
(Aku yang mengatur, tahu!)
“Samamudin kambek Tino,
ewangi Gito, awakmu Rin, tolong cepakno banyu, drum-drum iko diisi, dingklik
nggo ngedusi sisan dicepakno,” (Samamudin dan Tino, bantu Gito, kamu Rin,
tolong disiapkan air, drum-drum itu diisi, bangku kayu untuk memandikan
sekalian disiapkan,) perintahnya mengalahkan perintah Ketua RT.
“Tapi Kang ….”
“Halah! ngenelo!” (halah!
benini!)
Kuswanoto lalu mengambil
gulungan kain kafan, sejenak dia menatap Gito, dahinya berkerut seakan ada
sesuatu yang mengganjal.
“Apa lagi Kang?”
“Pak Rete, duwure sepiro
yo, la iki morine ko kurang utowo kedawan, lek biosone diukur dowone mayit,”
(Pak Rete, tingginya berapa ya, ini kafan nanti kurang atau kepanjangan, kalau
biasanya diukur panjangnya mayat,) ujarnya.
“Ya kurang lebih masih
tinggi Panjenengan satu jengkal,” sambar Tino.
“Sudah begini saja Kang
Noto, Njenengan itu berbaring biar kami bisa tahu sebatas mana kafan mau
dipotong,” tambah Samamudin.
“Awakku? Gah! Mosok
awakku!” (Saya? Tidak mau! Masak harus saya!)
“Ya mau bagaimana lagi,
tinggal berbaring terus sedekap saja kok repot,” balas Samamudin.
“Iya Kang, dengan begitu
kita jadi tahu berapa ukuran tubuh Pak RT.” Giliran Gito menegaskan, kalau
Kuswanoto harus berbaring dan bersedekap untuk mengukur panjang kafan.
“Sudah ayo, berbaring,
susah amat disuruh!” pinta Samamudin.
Tanpa bicara, Kuswanoto
bersungut berbaring di lantai setelah melepas peci hitamnya.
“Wes ndang ojo kesuwen!”
(Sudah cepat janagn lama-lama!) bentaknya.
Bagian ujung kafan
dipegang oleh Gito, sementara Tino melangkah mundur seraya memegangi gulungan.
“Yang cocok dibungkus
kafan itu sebenarnya Panjenegan,” kata Samamudin yang sudah jongkok di samping
Kuswanoto dengan memegang gunting.
“Lambemu nek ngomong asal
njeplak ae.” (Bibirmu kalau bicara asal ucap saja.)
“Lha ‘kan begitu modelnya
Njenengan, kalau bicara asal nyeplos saja,” bantah samamudin.
“Sido opo enggak iki!”
(Jadi apa tidak ini!) Kuswanoto bangkit duduk, tetapi Samamudin menahan
dadanya, hingga akhirnya Kuswanoto kembali ke posisi semula.
“Yu! Yu! Dibacakan Yasin
sekalian ini Kang Noto! Yu War!” teriak Samamudin.
Plak!
Sebuah peci mendarat di kepala Samamudin.
Melihat itu Gito dan Tino,
ikut tertawa.
“Kate ndungakno awakku
ndang matek ta! Ha!” (Mau mendoakan saya cepat mati apa! Ha!)
“Tu’ kan, kalau diajak
bercanda marahnya saja dibesarkan.”
“Ini jadi ukur kafan atau
Tidak?” imbuh Samamudin.
“Mejam,” pintanya pula.
Kuswanoto sudah dibuat bak
mayat dengan tangan bersedekap, mata terpejam, setelah mendapat gambaran tinggi
jenazah Pak RT, Samamudin lalu memberi tanda pada kain.
Merasa sudah mendapat
ukuran, Kuswanoto membuka mata.
“Belum! Jangan bangun
dulu!” Gantian Samamudin membentak, lalu memegang burung Kuswanoto.
“O wedos!” (O kambing!)
makinya.
“ha ha ha … sudah tua
tidak mau sempak! Ha ha ha,” tawa Samumudin diikuti Kuswanoto yang beranjak
bangkit, malu.
“Cuwangkemu nek ngomong
ojo banter-banter, krungu wong okeh !” (Mulutmu kalau bicara jangan
keras-keras, didengar orang banyak!)
“Kenapa? La memang
Njenengan itu tidak pernah pakai dalaman kok, ha ha ha.” Samamudin berdiri,
lalu meminta Tino dan Gito, yang juga tertawa untuk melipat kafan menjadi tiga
lipatan panjang sesuai ukuran.
Kafan sepanjang dua depa
lebih itu kemudian dipotong menjadi tiga bagian sama panjang, Samamudin tak
lupa menggunting sisi samping kain untuk dijadikan tali pocong sebanyak lima
buah.
“Yu! Ki tulung di dondomi,
digandeng seng loro iki, nggeh.” (Yu, ini tolong dijahit, digandeng yang dua
ini, ya.”
Dua perempuan yang sedari
tadi ikut tersenyum, mengangguk lalu meraih kafan yang sudah dipotong oleh
Samamudin.
“Tugel meneh setengah
depo, nggo ketu.” (Potong lagi setengah depa buat penutup kepala mayat.)
“Setengah depo meneh nggo
sempak ‘e.” (Setengah depa lagi buat sempak.)
“Lo! Ojo mbok jait dondomi
ngono Yu? Di dondomi bioso ae,” (Lo! Jangan dijahit mati Yu? Di jahit biasa
saja,) ujar Kuswanoto ketika dua perempuan salah dalam menjahit kafan.
****
Tak lama setelah itu kafan
sudah siap, bahkan Kuswanoto juga menyuruh untuk membentang di lantai, lengkap
dengan Lima helai tali dari sisi kain yang disobek.
Dia terlihat begitu sibuk
mengatur beberapa ibu-ibu lainnya untuk meronce bunga yang disatukan pula
dengan sehelai benang panjang.
“Rin! Wes kebak gurung!”
(Rin! Sudah penuh belum!)
“Belum Kang!” teriak Birin
yang memegang selang.
“Kelemak kelemek! Seng
cepet nek temanang ki!” (Kelemak-kelemek! Yang cepat kalau kerja!)
“Lah? Kok saya yang
disalahkan, pompa airnya sana yang Njenengan marahi, bagaimana mau cepat, kalau
mau cepat yang tuang saja sumurnya,” balas Birin menggerutu.
“Kang, kang, rene!” teriak
Kuswanoto memanggil sekumpulan orang yang duduk.
“Ada apa ya Kang Noto.”
“Timbangane kumpul-kumpul
ngrasani koncone, iko, papan iko di gawe maesan, roh to nek lanang kudu piye
modele?” (Daripada kumpul-kumpul membicarakan temannya, itu, papan itu dibuat
nisa, tahu ‘kan kalau mayat laki-laki harus bagaimana modelnya?)
“Dibuat seperti burung Pak
RT, begitu Kang?” tanya lelaki itu polos.
“Matamu suwek! Gaween ngisan
koyok pelimu iku! Nek wong lanang yo enggak kudu njebebeh to nduwure, bunder yo
kenek, setengah lancip yo kenek, ngono ae yo enggak roh, malah kate digawe
koyok peline Rete!” (Matamu sobek! Kamu buat saja sekalian seperti burungmu
itu! Kalau mayat laki-laki ya tidak harus datar atasnya, bunder ya boleh,
setengah lancip juga boleh, begitu saja tidak tahu, malah mau dibuat seperti
burungnya Pak RT!)
“Ya tanya Kang, tidak usah
marah-marah, kena stroke tahu rasa Njenengan,” gerutu lelaki itu seraya
meninggalkan Kuswanoto yang berdiri di ambang pintu.
“Kenapa Kamu, kok
cemberut?” tanya salah temannya.
“Kang Noto, di tanya
baik-baik … itu orang galak minta ampun,” balasnya.
“Tidak usah heran, kayak
tidak tahu Kang Noto itu bagaimana orangnya, bicaranya ya kasar begitu,
modelnya sudah begitu, sudah dimaklumi saja.”
“Lha awakmu!” (La kamu!)
Yang merasa dipanggil
menoleh seraya memandang Kuswanoto.
“Iyo awakmu, rene!” (Iya
kamu, sini!)
“Ada apa Pakde?”
“Tukokno udud, neng
warunge Pondi, Pakde seng ngongkon ngono yo, gudang garem abang.” (Belikan
rokok, di warungnya Pondi, Pakde yang menyuruh begitu ya, gudang garam merah.)
“Ya Pakde,” jawab remaja
lelaki mengenakan baju putih.
“Kwecut cangkem enggak jejeli
udud,” (Kecut mulut tidak disumpal rokok,) batinnya.
Suasana yang ramai semakin
ramai oleh para pelayat yang datang, ibu-ibu dibelakang tampak sibuk
mempersiapkan segala keperluan makam, juga malam pertama yang rencananya akan
digelar pembacaan Yasin dan tahil selama tujuh malam berturut-turut.
Kuswanoto masih terlihat
sibuk mengatur dan menyurh-suruh beberapa lelaki untuk mempersiapkan semuanya
hingga jenazah Ketua RT tiba di rumah duka.
No comments:
Post a Comment